ASUHAN KEPERAWATAN CEDERA OTAK SEDANG
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan dan goncangan (Gernardli and Meany, 1996).
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Cedera Kepala Sedang :
- GCS 9 – 12
- Saturasi oksigen > 90 %
- Tekanan darah systale > 100 mm Hg
- Lama kejadian < 8 jam
Mekanisme Cedera Kepala
Berdasarkan besarnya gaya dan lamanya gaya yang bekerja pada kepala manusia maka mekanisme terjadinya cidera kepala tumpul dapat dibagi menjadi dua :
(1) Static loading
Gaya langsung bekerja pada kepala, lamanya gaya yang bekerja lambat, lebih dari 200 milidetik. Mekanisme static loading ini jarang terjadi tetapi kerusakan yang terjadi sangat berat mulai dari cidera pada kulit kepala sampai pada kerusakan tulang kepala, jaringan dan pembuluh darah otak. (Bajamal A.H , 1999).
(2) Dynamic loading
Gaya yang bekerja pada kepala secara cepat (kurang dari 50 milidetik). Gaya yang bekerja pada kepala dapat secara langsung (impact injury) ataupun gaya tersebut bekerja tidak langsung (accelerated-decelerated injury). Mekanisme cidera kepala dynamic loading ini paling sering terjadi (Bajamal A.H , 1999).
a. Impact Injury
Gaya langsung bekerja pada kepala. Gaya yang terjadi akan diteruskan kesegala arah, jika mengenai jaringan lunak akan diserap sebagian dan sebagian yang lain akan diteruskan, sedangkan jika mengenai jaringan yang keras akan dipantulkan kembali. Tetapi gaya impact ini dapat juga menyebabkan lesi akselerasi-deselerasi. Akibat dari impact injury akan menimbulkan lesi :
Pada cidera kulit kepala (SCALP) meliputi Vulnus apertum, Excoriasi, Hematom subcutan, Subgalea, Subperiosteum. Pada tulang atap kepala meliputi Fraktur linier, Fraktur distase, Fraktur steallete, Fraktur depresi. Fraktur basis cranii meliputi Hematom intracranial, Hematom epidural, Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intrakranial. Kontusio serebri terdiri dari Contra coup kontusio, Coup kontusio. Lesi difuse intrakranial, Laserasi serebri yang meliputi Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).
b. Lesi akselerasi – deselerasi
Gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi mengenai bagian tubuh yang lain tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya perbedaan densitas antara tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan otak dengan densitas yang lebih rendah, maka jika terjadi gaya tidak langsung maka tulang kepala akan bergerak lebih dahulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap berhenti, sehingga pada saat tulang kepala berhenti bergerak maka jaringan otak mulai bergerak dan oleh karena pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi gesekan antara jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi lesi intrakranial berupa Hematom subdural, Hematom intraserebral, Hematom intraventrikel, Contra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselerasi akan menyebabkan gaya terikan ataupun robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa Komosio serebri, Diffuse axonal injury (Umar Kasan , 1998).
Cidera Otak Primer
Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer tidak mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera sekunder (Bajamal A.H, Darmadipura : 1993).
1. Cidera pada SCALP
Fungsi utama dari lapisan kulit kepala dengan rambutnya adalah melindungi jaringan otak dengan cara menyerap sebagian gaya yang akan diteruskan melewati jaringan otak. Cidera pada scalp dapat berupa Excoriasi, Vulnus, Hematom subcutan, Hematom subgaleal, Hematom subperiosteal. Pada excoriasi dapat dilakukan wound toilet. Sedangkan pada vulnus apertum harus dilihat jika vulnus tersebut sampai mengenai galea aponeurotika maka galea harus dijahit (untuk menghindari dead space sedangkan pada subcutan mengandung banyak pembuluh darah demikian juga rambut banyak mengandung kuman sehingga adanya hematom dan kuman menyebabkan terjadinya infeksi). Penjahitan pada galea memakai benang yang dapat diabsorbsi dalam jangka waktu lama (tetapi kalau tidak ada dapat dijahit dengan benang noabsorbsable tetapi dengan simpul terbalik untuk menghindari terjadinya “druck necrosis”), pada kasus terjadinya excoriasi yang luas dan kotor hendaknya diberikan anti tetanus untuk mencegah terjadinya tetanus yang akan berakibat sangat fatal. Pada kasus dengan hematom subcutaan sampai hematom subperiosteum dapat dilakukan bebat tekan kemudian berikan anlgesia, jika selama 2 minggu hematom tidak diabsorbsi dapat dilakukan punksi steril. Hati-hati cidera scalp pada anak-anak/bayi karena pendarahan begitu banyak dapat terjadi shock hipopolemik (Gennerellita ,1996).
2. Fraktur linier kalvaria
Fraktur linier pada kalvaria dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala “bending” dan terjadi fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial, tetapi tidak ada terapi khusus pada fraktur linier ini tetapi gaya yang menyebabkan terjadinya fraktur tersebut cukup besar maka kemungkinan terjadinya hematom intrakranial cukup besar, dari penelitian di RS Dr. Soetomo Surabaya didaptkan 88% epidural hematom disertai dengan fraktur linier kalvaria. Jika gambar fraktur tersebut kesegala arah disebut “Steallete fracture”, jika fraktur mengenai sutura disebut diastase fraktur (Bajamal AH, 1999).
3. Fraktur Depresi
Secara definisi yang disebut fraktur depresi apabila fragmen dari fraktur masuk rongga intrakranial minimal setebal tulang fragmen tersebut, berdasarkan pernah tidaknya fragmen berhubungan dengan udara luar maka fraktur depresi dibagi 2 yaitu fraktur depresi tertutup dan fraktur depresi terbuka (Bajamal AH, 1999).
(1) Fraktur Depresi Tertutup
Pada fraktur depresi tertutup biasanya tidak dilakukan tindakan operatip kecuali bila fraktur tersebut menyebabkan gangguan neurologis, misal kejang-kejang hemiparese/plegi, penurunan kesadaran. Tindakan yang dilakukan adalah mengangkat fragmen tulang yang menyebabkan penekanan pada jaringan otak, setelah mengembalikan dengan fiksasi pada tulang disebelahnya, sedangkan fraktur depresi didaerah temporal tanpa disertai adanya gangguan neurologis tidak perlu dilakukan operasi (Bajamal A.H ,1999).
(2) Fraktur Depresi Terbuka
Semua fraktur depresi terbuka harus dilakukan tindakan operatif debridemant untuk mencegah terjadinya proses infeksi (meningoencephalitis) yaitu mengangkat fragmen yang masuk, membuang jaringan devitalized seperti jaringan nekrosis benda-benda asing, evakuasi hematom, kemudian menjahit durameter secara “water tight”/kedap air kemudian fragmen tulang dapat dikembalikan ataupun dibuang, fragmen tulang dikembalikan jika Tidak melebihi “golden periode” (24 jam), durameter tidak tegang Jika fragmen tulang berupa potongan-potongan kecil maka pengembalian tulang dapat secara “mozaik” (Bajamal 1999).
4. Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, Durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan Bloody otorrhea, Bloody rhinorrhea, Liquorrhea, Brill Hematom, Batle’s sign, Lesi nervus cranialis yang paling sering N I, NVII dan NVIII. Diagnose fraktur basis cranii secara klinis lebih bermakna dibandingkan dengan diagnose secara radiologis oleh karena foto basis cranii posisinya “hanging foto”, dimana posisi ini sangat berbahaya terutama pada cidera kepala disertai dengan cidera vertebra cervikal ataupun pada cidera kepala dengan gangguan kesadaran yang dapat menyebabkan apnea. Adanya gambaran fraktur pada foto basis cranii tidak akan merubah penatalaksanaan dari fraktur basis cranii, Pemborosan biaya perawatan karena penambahan biaya foto basis cranii (Umar Kasan , 2000).
5. Penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :
(1). Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.
(2). Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (Consul ahli THT) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.
(3). Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Umar Kasan : 2000).
Komosio Serebri
Secara definisi komosio serebri adalah gangguan fungsi otak tanpa adanya kerusakan anatomi jaringan otak akibat adanya cidera kepala. Sedangkan secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama kurang dari 15 menit, disertai sakit kepala, pusing, mual-muntah adanya amnesi retrogrde ataupun antegrade. Pada pemeriksaan radiologis CT scan tidak didapatkan adanya kelainan (Bajamal AH : 1993).
Kontusio Serebri
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat adanya kerusakan jaringan otak, secara klinis didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak seperti hemiparese/plegi, aphasia disertai gejala mual-muntah, pusing sakit kepala, amnesia retrograde/antegrade, pada pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran pia-arachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT Scan disebut “Pulp brain” (Bajamal A.H & Kasan H.U , 1993 ).
Epidural Hematom (EDH = Epidural Hematom)
Epidural Hematom adalah hematom yang terletak antara durameter dan tulang, biasanya sumber pendarahannya adalah robeknya Arteri meningica media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena emmisaria, Sinus venosus duralis. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang disertai lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) yang dapat berupa Hemiparese/plegi, Pupil anisokor,Reflek patologis satu sisi. Adanya lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH sedangkan hemiparese/plegi lataknya kontralateral dengan lokasi EDH, sedangkan gejala adanya lucid interval bukan merupakan tanda pasti adanya EDH karena dapat terjadi pada pendarahan intrakranial yang lain, tetapi lucid interval dapat dipakai sebagai patokan dari prognosenya makin panjang lucid interval makin baik prognose penderita EDH (karena otak mempunyai kesempatan untuk melakukan kompensasi). Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan bentuk bikonvek diantara 2 sutura. Terjadinya penurunan kesadaran, Adanya lateralisasi, Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian anlgesia. Pada CT Scan jika perdarahan volumenya lebih dari 20 CC atau tebal lebih dari 1 CM atau dengan pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan sedangkan tulang kepala dapat dikembalikan. Jika saat operasi tidak didapatkan adanya edema serebri sebaliknya tulang tidak dikembalikan jika saat operasi didapatkan duramater yang tegang dan dapat disimpan subgalea. Pada penderita yang dicurigai adanya EDH yang tidak memungkinkan dilakukan diagnose radiologis CT Scan maka dapat dilakukan diagnostik eksplorasi yaitu “Burr hole explorations” yaitu membuat lubang burr untuk mencari EDH biasanya dilakukan pada titik- titik tertentu yaitu Pada tempat jejas/hematom, pada garis fratur, pada daerah temporal, pada daerah frontal (2 CM didepan sutura coronaria), pada daerah parietal, pada daerah occipital. Prognose dari EDH biasanya baik, kecuali dengan GCS datang kurang dari 8, datang lebih dari 6 jam umur lebih dari 60 tahun (Bajamal A.H , 1999).
Subdural hematom (SDH)
Secara definisi hematom subdural adalah hematom yang terletak dibawah lapisan duramater dengan sumber perdarahan dapat berasal dari Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis. Berdasarkan waktu terjadinya perdarahan maka subdural hematom dibagi 3 meliputiSubdural hematom akut terjadi kurang dari 3 hari dari kejadian, Subdural hematom subakut terjadi antara 3 hari – 3 minggu, Subdural hematom kronis jika perdarahan terjadi lebih dari 3 minggu. Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese/plegi. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis (CT Scan) didapatkan gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi menurut EBIC (Europebraininjuy commition) pada perdarahan subdural adalah Jika perdarahan tebalnya lebih dari 1 CM, Jika terdapat pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. Operasi yang dilakukan adalah evakuasi hematom, menghentikan sumber perdarahan. Bila ada edema serebri biasanya tulang tidak dikembalikan (dekompresi) dan disimpan subgalea. Prognose dari penderita SDH ditentukan dari GCS awal saat operasi, lamanya penderita datang sampai dilakukan operasi, lesi penyerta di jaringan otak serta usia penderita, pada penderita dengan GCS kurang dari 8 prognosenya 50 %, makin rendah GCS, makin jelek prognosenya makin tua pasien makin jelek prognosenya adanya lesi lain akan memperjelek prognosenya.
Intracerebral hematom (ICH)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak. Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens yang indikasi dilakukan operasi jika Single, Diameter lebih dari 3 cm, Perifer, Adanya pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan gangguan neurologis/lateralisasi. Operasi yang dilakukan biasanya adalah evakuasi hematom disertai dekompresi dari tulang kepala. Faktor-faktor yang menentukan prognosenya hampir sama dengan faktor-faktor yang menentukan prognose perdarahan subdural (Bajamal A.H , 1999).
CIDERA OTAK SEKUNDER
Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya proses metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak maka cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi Edema serebri, Infrark serebri, Peningkatan tekanan intra kranial (Bajamal A.H , 1999).
1. Edema serebri
Adalah penambahan air pada jaringan otak / sel – sel otak, pada kasus cidera kepala terdapat 2 macam edema serebri Edema serebri vasogenik, Edema serebri sitoststik (Sumarmo Markam et.al ,1999).
2. Edema serebri vasogenik
Edema serebri vasoganik terjadi jika terdapat robekan dari “ blood brain barrier” (sawar darah otak ) sehingga solut intravaskuler (plasma darah) ikut masuk dalam jaringan otak (ekstraseluler) dimana tekanan osmotik dari plasma darah ini lebih besar dari pada tekanan osmotik cairan intra seluler. Akibatnya terjadi reaksi osmotik dimana cairan intraseluler, yang tekanan osmotiknya lebih rendah akan ditarik oleh cairan ekstra seluler keluar dari sel melewati membran sel sehingga terjadi edema ekstra seluler sedangkan sel-sel otak mengalami pengosongan (“shringkage”) (Sumarmo Markam et.al ,1999).
3. Edema serebri sitostatik
Edema serebri sitostatik terjadi jika suplai oksigen kedalam jaringan otak berkurang (hipoksia) akibatnya terjadi reaksi anaerob dari jaringan otak (pada keadaan aerob maka metabolisme 1 mol glukose akan di ubah menjadi 38 ATP dan H2O). Sedangkan dalam keadaan anaerob maka 1 molekul glukose akan diubah menjadi 2 ATP dan H2O karena kekurangan ATP maka tidak ada tenaga yang dapat digunakan untuk menjalankan proses pompa Natrium Kalium untuk pertukaran kation dan anion antara intra selluler dan ekstraseluler dimana pada proses tersebut memerlukan ATP akibatnya Natrium (Na) yang seharusnya dipompa keluar dari sel menjadi masuk kedalam sel bersama masuknya natrium. Maka air (H2O) ikut masuk kedalam sel sehingga terjadi edema intra seluler (Sumarmo Markam et.al :1999). Gambaran CT Scan dari edema serebri Ventrikel menyempit, Cysterna basalis menghilang, Sulcus menyempit sedangkan girus melebar.
4. Tekanan Intra Kranial
Compartment rongga kepala orang dewasa rigid tidak dapat berkembang yang terisi 3 komponen yaitu Jaringan otak seberat 1200 gram, Cairan liquor serebrospinalis seberat 150 gram, Darah dan pembuluh darah seberat 150 gram. Menurut doktrin Monroe – kellie, jumlah massa yang ada dalam rongga kepala adalah konstan jika terdapat penambahan massa (misal hematom, edema, tumor, abses) maka sebagian dari komponen tersebut mengalami kompensasi/bergeser, yang mula – mula ataupun canalis centralis yang ada di medullaspinalis yang tampak pada klinis penderita mengalami kaku kuduk serta pinggang terasa sakit dan berat. Jika kompensasi dari cairan serebrospinalis sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka terjadi kompensasi kedua yaitu kompensasi dari pembuluh darah dan isinya yang bertujuan untuk mengurangi isi rongga intrakranial dengan cara ialahVaso konstriksi yang berakibat tekanan darah meningkat, Denyut nadi menurun (bradikardia), yang merupakan tanda awal dari peningkatan tekanan intrakranial, kedua tanda ini jika disertai dengan ganguan pola napas disebut “trias cushing”. Jika kompensasi kedua komponen isi rongga intrakranial sudah terlampaui sedangkan penambahan massa masih terus berlangsung maka jaringan otak akan melakukan kompensasi yaitu berpindah ketempat yang kosong (“locus minoris”) perpindahan jaringan otak tersebut disebut herniasi cerebri. Tanda - tanda klinis herniasi cerebri tergantung dari macamnya, pada umumnya klinis dari peningkatan tekanan intrakranial adalah Nyeri kepala, Mual, Muntah, Pupil bendung (Sumarmo Markam et.al ,1999).
6. Penanganan pertama kasus cidera kepala di UGD
Pertolongan pertama dari penderita dengan cidera kepala mengikuti standart yang telah ditetapkan dalam ATLS (Advanced Trauma Life Support) yang meliputi, anamnesa sampai pemeriksaan fisik secara seksama dan stimultan pemeriksaan fisik meliputi Airway, Breathing, Circulasi, Disability (ATLS ,1997). Pada pemeriksaan airway usahakan jalan nafas stabil, dengan cara kepala miring, buka mulut, bersihkan muntahkan darah, adanya benda asing. Perhatikan tulang leher, Immobilisasi, Cegah gerakan hiperekstensi, Hiperfleksi ataupun rotasi, Semua penderita cidera kepala yang tidak sadar harus dianggap disertai cidera vertebrae cervikal sampai terbukti tidak disertai cedera cervical, maka perlu dipasang collar barce. Jika sudah stabil tentukan saturasi oksigen, minimal saturasinya diatas 90 %, jika tidak usahakan untuk dilakukan intubasi dan support pernafasan. Setelah jalan nafas bebas sedapat mungkin pernafasannya diperhatikan frekwensinya normal antara 16 – 18 X/menit, dengarkan suara nafas bersih, jika tidak ada nafas lakukan nafas buatan, kalau bisa dilakukan monitor terhadap gas darah dan pertahankan PCO 2 antara 28 – 35 mmHg karena jika lebih dari 35 mm Hg akan terjadi vasodilatasi yang berakibat terjadinya edema serebri. Sedangkan jika kurang dari 20 mm Hg akan menyebabkan vaso konstruksi yang berakibat terjadinya iskemia, Periksa tekanan oksigen (O2) 100 mm Hg jika kurang beri oksigen masker 8 liter /menit. Pada pemeriksaan sistem sirkulasi Periksa denyut nadi/jantung, jika (tidak ada) lakukan resusitasi jantung, Bila shock (tensi < 90 mm Hg nadi >100x per menit dengan infus cairan RL, cari sumber perdarahan ditempat lain, karena cidera kepala single pada orang dewasa hampir tidak pernah menimbulkan shock. Terjadinya shock pada cidera kepala meningkatkan angka kematian 2x. Pada pemeriksaan disability/kelainan kesadaran pemeriksaan kesadaran memakai glasgow coma scale, Periksa kedua pupil bentuk dan besarnya serta catat reaksi terhadap cahaya langsung maupun tidak langsung, Periksa adanya hemiparese/plegi, Periksa adanya reflek patologis kanan kiri, Jika penderita sadar baik tentukan adanya gangguan sensoris maupun fungsi misal adanya aphasia. Setelah fungsi vital stabil (ABC stabil baru dilakukan survey yang lain dengan cara melakukan sekunder survey/ pemeriksaan tambahan seperti skull foto, foto thorax, foto pelvis, CT Scan dan pemeriksaan ini sebenarnya dikerjakan secara stimultan dan seksama) (ATLS , 1997).
Glasgow Coma Scale (GCS)
Untuk mendapatkan keseragaman dari penilaian tingkat kesadaran secara kwantitatif (yang sebelumnya tingkat kesadaran diukur secara kwalitas seperti apatis, somnolen dimana pengukuran seperti ini didapatkan hasil yang tidak seragam antara satu pemeriksaan dengan pemeriksa yang lain) maka dilakukan pemeriksaan dengan skala kesadaran secara glasgow, ada 3 macam indikator yang diperiksa yaitu reaksi membuka mata, Reaksi verbal, Reaksi motorik.
1). Reaksi membuka mata
Reaksi membuka mata Nilai
Membuka mata spontan 4
Buka mata dengan rangsangan suara 3
Buka mata dengan rangsangan nyeri 2
Tidak membuka mata dengan rangsangan nyeri 1
2). Reaksi Verbal
Reaksi Verbal Nilai
Komunikasi verbal baik, jawaban tepat 5
Bingung, disorientasi waktu, tempat dan ruang 4
Dengan rangsangan nyeri keluar kata-kata 3
Keluar suara tetapi tak berbentuk kata-kata 2
Tidak keluar suara dengan rangsangan apapun 1
3). Reaksi Motorik
Reaksi Motorik Nilai
Mengikuti perintah 6
Melokalisir rangsangan nyeri 5
Menarik tubuhnya bila ada rangsangan nyeri 4
Reaksi fleksi abnormal dengan rangsangan nyeri 3
Reaksi ekstensi abnormal dengan rangsangan nyeri 2
Tidak ada gerakan dengan rangsangan nyeri 1
Berdasarkan GCS maka cidera kepala dapat dibagi menjadi 3 gradasi yaitu cidera kepala derajat ringan, bila GCS : 13 – 15, Cidera kepala derajat sedang, bila GCS : 9 – 12, Cidera kepala berat, bila GCS kuang atau sama dengan 8. Pada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda “X”, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai “X”, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai “T”.
Indikasi foto polos kepala
Tidak semua penderita dengan cidera kepala diindikasikan untuk pemeriksaan kepala karena masalah biaya dan kegunaan yang sekarang makin dittinggalkan. Jadi indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm, Luka tembus (tembak/tajam), Adanya corpus alineum, Deformitas kepala (dari inspeksi dan palpasi), Nyeri kepala yang menetap, Gejala fokal neurologis, Gangguan kesadaran (Bajamal A.H ,1999). Sebagai indikasi foto polos kepala meliputi jangan mendiagnose foto kepala normal jika foto tersebut tidak memenuhi syarat, Pada kecurigaan adanya fraktur depresi maka dillakukan foto polos posisi AP/lateral dan oblique.
Indikasi CT Scan
Indikasi CT Scan adalah :
(1) Nyeri kepala menetap atau muntah – muntah yang tidak menghilang setelah pemberian obat – obatan analgesia/anti muntah.
(2) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.
(3) Penurunan GCS lebih 1 point dimana faktor – faktor ekstracranial telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena misal terjadi shock, febris, dll).
(4) Adanya lateralisasi.
(5) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai, misal fraktur depresi temporal kanan tapi terdapat hemiparese/plegi kanan.
(6) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
(7) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari GCS.
(8) Bradikardia (Denyut nadi kurang 60 X / menit).
Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS)
Cidera kepala yang perlu masuk rumah sakit (MRS) meliputi :
(1) Adanya gangguan kesadaran (GCS < 15).
(2) Pernah tidak sadar lebih dari 15 menit (contusio serebri).
(3) Adanya gangguan fokal neorologis (Hemiparese/plegi, kejang - kejang, pupil anisokor).
(4) Nyeri kepala, muntah - mual yang menetap yang telah dilakukan observasi di UGD dan telah diberikan obat analgesia dan anti muntah selama 2 jam tidak ada perbaikan.
(5) Adanya tanda fraktur tulang kavaria pada pemerisaan foto kepala.
(6) Klinis adanya tanda – tanda patah tulang dasar tengkorak.
(7) Luka tusuk atau luka tembak
(8) Adanya benda asing (corpus alienum).
(9) Penderita disertai mabuk.
(10) Cidera kepala disertai penyakit lain misal hipertensi, diabetes melitus, gangguan faal pembekuan.
Indikasi sosial yang dipertimbangkan pada pasien yang dirawat dirumah sakit tidak ada yang mengawasi di rumah jika di pulangkan,Tempat tinggal jauh dengan rumah sakit oleh karena jika terjadi masalah akan menyulitkan penderita. Pada saat penderita di pulangkan harus di beri advice (lembaran penjelasan) apabila terdapat gejala seperti ini harus segera ke rumah sakit misalnya : mual – muntah, sakit kepala yang menetap, terjadi penurunan kesadaran, Penderita mengalami kejang – kejang, Gelisah. Pengawasan dirumah harus dilakukan terus menerus selama kerang lebih 2 x 24 jam dengan cara membangunkan tiap 2 jam (Bajamal AH ,1999).
1 Perawatan dirumah sakit
Perawatan di rumah sakit bila GCS 13 – 15 meliputi :
1). Infus dengan cairan normoosmotik (kecuali Dextrose oleh karena dextrose cepat dimetabolisme menjadi H2O + CO2 sehingga dapat menimbulkan edema serebri) Di RS Dr Soetomo surabaya digunakan D5% ½ salin kira – kira 1500 – 2000 cc/24 jam untuk orang dewasa.
2). Diberikan analgesia/antimuntah secara intravena, jika tidak muntah dicoba minum sedikit – sedikit (pada penderita yang tetap sadar).
3). Mobilisasi dilakukan sedini mungkin, dimulai dengan memberikan bantal selama 6 jam kemudian setengah duduk pada 12 jam kemudian duduk penuh dan dilatih berdiri (dapat dilakukan pada penderita dengan GCS 15).
4). Jika memungkinkan dapat diberikan obat neorotropik, seperti : Citicholine, dengan dosis 3 X 250 mg/hari sampai minimal 5 hari.
5). Minimal penderita MRS selama 2 X 24 jam karena komplikasi dini dari cidera kepala paling sering terjadi 6 jam setelah cidera dan berangsur – angsur berkurang sampai 48 jam pertama.
2 Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
Perawatan di rumah sakit bila GCS < 13
1). Posisi terlentang kepala miring kekiri dengan diberi bantal tipis (head up 15° – 30°) hal ini untuk memperbaiki venous return sehingga tekanan intra kranial turun.
2). Beri masker oksigen 6 – 8 liter/menit.
3). Atasi hipotensi, usahakan tekanan sistolok diatas 100 mmHg, jika tidak ada perbaikan dapat diberikan vasopressor.
4). Pasang infus D5% ½ saline 1500 – 2000 cc/24 jam atau 25 – 30 CC/KgBB/24jam.
5). Pada penderita dengan GCS < 9 atau diperkirakan akan memerlukan perawatan yang lebih lama maka hendaknya dipasang maagslang ukuran kecil (12 Fr) untuk memberikan makanan yang dimulai pada hari I dihubungkan dengan 500 cc Dextrose 5%. Gunanya pemberian sedini mungkin adalah untuk menghindari atrophi villi usus, menetralisasikan asam lambung yang biasanya pH nya sangat tinggi (stress ulcer), menambah energi yang tetap dibutuhkan sehingga tidak terjadi metabolisme yang negatip, pemberian makanan melalui pipa lambung ini akan ditingkatkan secara perlahan – lahan sampai didapatkan volume 2000 cc/24 jam dengan kalori 2000 Kkal. Keuntungan lain dari pemberian makanan peroral lebih cepat pada penderita tidak sadar antara lain mengurangi translokasi kuman di dinding usus halus dan usus besar, Mencegah normal flora usus masuk kedalam system portal.
6). Sedini mungkin penderita dilakukan mobilisasi untuk menghindari terjadinya statik pneumonia atau dekubitus dengan cara melakukan miring kekiri dan kanan setiap 2 jam.
7). Pada penderita yang gelisah harus dicari dulu penyebabnya tidak boleh langsung diberikan obat penenang seperti diazepam karena dapat menyebabkan masking efek terhadap kesadarannya dan terjadinya depresi pernapasan. Pada penderita gelisah dapat terjadi karena nyeri oleh karena fraktur, Kandung seni yang penuh, Tempat tidur yang kotor, Penderita mulai sadar, Penurunan kesadaran, Shock, Febris.
Transpor Oksigen
Sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa peneliti (MacLean, 1971, Peitzman, 1987, Abrams, 1993 mekanisme ini terdiri dari tiga unsur besar yakni:
1. Sistim pernafasan yang membawa O2 udara alveoli, kemudian difusi masuk kedalam darah.
Setelah difusi menembus membran alveolokapiler, oksigen berkaitan dengan hemoglobin dan sebagian kecil larut dalam plasma. Gangguan oksigenansi menyebabkan berkurangnya oksigen didalam darah (hipoksemia) yang selanjutnya akan menyebabkan berkurangnya oksigen jaringan (hipoksia). Atas penyebabnya, dibedakan 4 jenis hipoksia sesuai dengan proses penyebabnya :
1). Hipoksia – hipoksik : gangguan ventilasi-difusi
2). Hipoksia – stagnan : gangguan perfusi/sirkulasi
3). Hipoksia – anemik : anemia
4). Hipoksia – histotoksik : gangguan pengguanaan oksigen dalam sel (racun HCN, sepsis).
Pada pendarahan dan syok terjadi gabungan hipoksia stagnan dan anemik.
Kandungan oksigen dalam darah arterial (Ca O2) menurut rumus Nunn-Freeman (MacLean, 1971, Lentner, 1984, Buran, 1987) adalah :
Ca O2 = (Hb x Saturasi O2 x 1,34) + (p O2 x 0,003)
Hb = kadar hemoglobin darah (g/dl) saturasi O2 = saturasi oksigen dalam hemoglobin (%)
1,34 = koefisien tetap (angka Huffner) beberapa penulis menyebut 1,36 atau 1,39
pO2 = tekanan parsiel oksigen dalam plasma, mmHg
0,003 = koefisien kelarutan oksigen dalam plasma.
2. Sistim sirkulasi yang membawa darah berisi O2 ke jaringan
Perubahan-perubahan hemodinamik sebagai kompensasi yaitu: nadi meningkat (takikardia), kekuatan kontraksi miokard meningkat, vasokonstriksi di daerah arterial reaksi takikardia terjadi segera. Tujuh puluh lima persen volume sirkulasi berada di daerah vena. Vasokonstriksi memeras darah dari cadangan vena kembali ke sirkulasi efektif. Vasokonstriksi arterial membagi secara selektif aliran untuk organ prioritas (otak dan jantung) dengan mengurangi aliran ke kulit, ginjal, hati, usus. Vasokonstriksi yang berupaya mempertahankan tekanan perfusi (perfusion pressure) untuk otak dan jantung, menyebabkan jantung bekerja lebih berat mengatasi SVR, pada saat yang sama oksigenasi koroner sedang menurun. Vasokonstriksi yang berlebihan di daerah usus dapat menyebabkan cedera iskemik (iscemic injury), translokasi kuman menembus usus dan masuknya endotoksin ke sirkulasi sistemik (Kreimeier 1990 dan 1992; Hartmann, 1991). Takikardia dan vasokonstriksi sudah berjalan dengan cepat melalui respons baroreseptor dan katekolamin. Takikardia yang berlebihan justru merugikan, karena menyebabkan EDV menurun sehingga CO juga turun. Cardiac output atau curah jantung adalah volume aliran darah yang membawa oksigen ke jaringan. Hubungan antara curah jantung (CO), frekwensi denyut jantung (f) dan Stroke Volume (SV) adalah sebagai berikut:
CO = f x SV
SV : dipengaruhi oleh EDV--- C --- SVR
EDV : volume ventrikel pada akhir diastole
C : contractility (kekuatan kontraksi otot jantung)
SVR : Systemic Vascular Resistance
VR : Venous Return (jumlah darah yang masuk atrium), dalam keadaan normal VR = CO
Available O2 = CO x Ca O2
Available O2 : oksigen tersedia (untuk jaringan)
Ca O2 : kandungan oksigen darah arterial.
3. Sistim O2-Hb dalam eritrosit dan transpor ke sel jaringan
Eritrosit mendapat oksigen dari difusi yang terjadi di kapiler paru. Dinamika oksigen dalam eritrosit ditunjukkan oleh kurva disosiasi oksigen-hemoglobin (Lentner, 19984; Odorico, 1993). Untuk memenuhi kebutuhan oksigen pada organ vital (otak, jantung) diisyaratkan bhwa kadar Hb harus > 9 sampai 10 gr %. Bila kadar Hb kurang dari 9 gr % masih dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan peningkatan curah jantung dan pelepasan lebih banyak oksigen ke jaringan (Odorico, 1993; Rotondo, 1993).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafid, M. Sajid Darmadiputra, Umar Kasan, (1989), Strategy Dasar Penanganan Cidera Otak, Warta IKABI Cab. Surabaya.
American College of Surgeons, (1995), Advanced Trauma Life Support Course for Physicians, ACS Chicago
Bajamal AH, (1999), Penatalaksanaan Cidera Otak Karena Trauma Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf Surabaya.
Becker DP, Gardner S, (1985), Intensive Management of Head Injury. In : Wilkins RH, Rengachary SS, eds. Neurosurgery New York : Mc. Grow Hill Company, 1953.
Bouma GJ, Muizelaar JP, Choi Sc et.al, (1991), Cerebral Circulation and Metabolism After Severe Traumatic Barin Injury : the elusive role of ischemia. J. Neurosurg.
Bambang Wahyu Prajitno, (1990), Terapi Oksigen, Lab Anestesiologi F.K Unair Surabaya.
Barzo MK, rau AM, Donaldson D et.al, (1997), Protective Effect of Ifenprodil on Ishemic Injury Size, Blood Breakdown, and Edema Formation in Focal Cerebral Ischemia.
Combs DJ, Dempsey RJ, Maley M et.al (1990), Relationship between plasma glocose, brain lactate and intra cellular PH during cerebraal ischemia in gebrils stroke.
Gennerelli TA and Meany DF ( 1996 ), Mechanism of Primary Head Injury, Wilkins RH and Renfgachery SS ( eds ) Neurosurgery, New York
Ishige N, Pitts LH et.al ( 1987 ), Effect of Hypoxia on Traumatic brain Injury in rats Neurosurgery
Jenkins N, Pitts LH et.al ( 1987 ), Increased vulnerability of the traumatized brain to early ischemia in Baethment A, Go CK and Unterberg A ( eds ) Mecahnism of Secondary brain demage.PC Worksho, Italy
Klatzo I. Chui E, Fujiware K ( 1980 ), Resulation of Vasogenic brain edema, Adv. Neurol.
Klauber MF, Marshall LF et.al ( 1989 ), Determinants of Head Injury Mortality, Importance of the Row Risk Patients.
Kraus JF ( 1993 ), Epidemiology of Head Injury in Cooper P ( ed ) Head Injury. Baltimore, William and Wilkins.
Narayan RK ( 1989 ), Emergency Room Management of the Head Injury Patient. In : Becker D.P, Gudeman S.K, eds Text Book of Head Injury Philadelphia : WB Saunders
R. Zander, F. Mertzlufft ( 1990 ), The Oxygen Status of Arterial Blood, Saarstrabe Germany.
Sumarmo Makam et.,al (1999), Cidera Kepala, Balai Penerbit FK UI Jakarta.
Umar kasan ( 1998 ), Peran Ilmu Bedah Saraf Dalam Penanganan Cidera Kepala Pidato Pengukuhan Guru Besar Airlangga Univ. Press.
Umar Kasan ( 2000 ), Penanganan Cidera Kepala Simposium IKABI Tretes
Vincent J. Collins, ( 1996 ), Pharmacology of Oxygen and Effect of Hypoxia Germany
Zainuddin M, ( 1988 ), Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga Surabaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar